KEMBALI KE HOME

Rabu, 19 Juni 2013

Back to HOME

 Pendidikan Islam dan Etika Moral

Islam adalah agama yang oleh umatnya diyakini mengandung seperangkat nilai dasar untuk menuntun kehidupan manusia guna mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai ajaran agama yang utuh dan lengkap, Islam tidak sekedar memberi atensi terhadap satu dimensi kehidupan, katakanlah jasmani semata tapi juga menekankan aspek rohani. Keduanya harus berada pada suatu keseimbangan (QS.al-Qashash (28):27).

Dari perspektif tersebut, maka Islam senantiasa memberi tempat bagi penghayatan keagamaan yang bersifat eksoteris (zhahir, lahiriyah) maupun esoterik (bathiniyah) sekaligus dengan tetap berpijak pada orbit keseimbangan. Artinya sikap ekstrimitas terhadap salah satu aspek semata bisa menimbulkan kepincangan dan menyalahi prinsip keseimbangan dimaksud.

Kendati demikian, pada kenyataannya prilaku penghayatan keagamaan umat Islam terbagi dua kelompok, yang satu menitik beratkan penghayatan keagamaan pada ketentuan-ketentuan luar (al-Ahkam al-Zhawair, yakni segi-segi lahiriah) dan satu kelompok lain, lebih menitik beratkan pada ketentuan “dalam” atau segi batiniyah.

Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan diakui sebagai kekuatan yang juga dapat membantu manusia mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban. Selain itu pendidikan memberikan bekal kepada manusia untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi.




Persoalan pendidikan memang masalah yang sangat penting dan aktual sepanjang masa, karena hanya dengan pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kapabelitas mengelolah alam yang dikaruniakan Allah kepada kita. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pendidikan sangat besar konstribusinya, baik dalam pembinaan moral, pensejahteraan dan bahkan membawa kemajuan suatu umat. Oleh karena itu, untuk mengukur kemajuan suatu umat atau bangsa dapat dilihat seberapa jauh tingkat pendidikannya.
Mengingat demikian urgennya pendidikan Islam, maka tela’ah di atas pendidikan Islam dan pembinaan etika moral generasi muda, menjadi hal yang sangat penting untuk diwacanakan tentunya dalam kerangka akademik. Sudah dipastikan bahwa ketika wacana tersebut mengemuka, maka permasalahan yang menyertainya adalah; apa urgensi pendidikan Islam, dan bagaimana pembinaan etika moral generasi muda.

Urgengsi Pendidikan Islam
M. Athiyah, mengatakan bahwa pentingnya pendidikan Islam adalah untuk membentuk budi pekerti. Sementara budi pekerti adalah jiwa dari pada pendidkan Islam. Dan Islam telah menyimpulkan bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Iman Al-Ghazali berpendapat bahwa pentingnya pendidikan Islam ialah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. pendidikan Islam bukan sekedar mengisi otak dengan segala macam ilmu yang berorientasi pragmatis, melainkan mendidik akhlak dan jiwa (spritual) dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci, seluruhnya ikhlas dan Muhammad Quthub, berpendapat bahwa hakekat pendidikan Islam ialah pembinaan rohani, pendidikan intelektual dan pembinaan jasmani. Hubungannya dengan pembinaan rohani, Muhammad Quthub menjelaskan bahwa rohani adalah pusat eksistensi manusia yang menjadi titik perhatian. Rohani adalah landasan, tempat dan penuntun kepada kebenaran. Dalam pendidikan intelektual, Quthb menjelaskan bahwa Islam memberi kemungkinan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang ghaib sebesar kemampuannya. Sedangkang dalam pembinaaan jasmani, ia menjelaskan bahwa Islam begitu menghormati jasmani, tidak membiarkannya apa adanya, sebab apabila dibiarkan maka ia tidak menjadi energi yang bermanfaat, melainkan justru merusak eksistensi jasmani itu

Apabila dimaknai secara umum, menyeluruh dan mendasar tentang pendapat dan pandangan-pandangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah usaha untuk mendidik jiwa, membina mental intelektual dan melati fisik agar bertindak sopan, ikhlas dan jujur sebagai wujud akhlakul. Oleh karena itu, apabila nilai-nilai moral dan akhlak tidak diajarkan atau dimarjinalisasikan dalam kehidupan manusia, maka akibatnya adalah manusia akan mengambil kehidupan duniawi ini sepuas-puasnya dengan membuat berbagai tatanan di atas standar materialistik. Sekalipun kesenangan itu musnah seluruhnya akibat jiwa yang kosong dari iman, dan kekosongan dari norma-norma agama. Kesenangan, kenikmatan dan kemanisan hidup yang dibangun selain dari perinsip moral, saatnya nanti akan berubah menjadi pemburuan hawa nafsu dan selalu menghantui dalam kehidupan berdinamika. Kalau ada kehidupan yang dibangun di atas prinsip materialistik murni dan mencapai kesejahteraan, sudah dapat dipastikan bahwa hanya kesejahteraan lahiriyah, sedangkan kesejahteraan rohania tidak akan terpenuhi. Keadaan ini apabilah sampai pada tingkat teratas strata kehidupan dan terbagi segmen kehidupan, maka akan terjadi kehancuran yang dahsyat dan mengerikan. Akhirnya cita-cita manusia untuk mencapai ketaqwaan hanyalah menjadi suatu harapan yang hampa. Disinilah letaknya urgensi pendidikan Islam.

Dalam hal itu proses untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan hidup, maka setiap orang/individu diperintahkan untuk belajar secara terus menerus sepanjang hidupnya, dan hal itu merupakan konsekwensi logis ditetapkanya manusia sebagai khalifa dimuka bumi ini. pendidikan merupakan bagian dari tugas kekhalifaan manusia. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggunjawab dan konsisten. Dalam hal ini Islam memberikan pandangan bahwa konsep-konsep yang mendasar tentang pendidikan dan tanggung jawab manusia muslim untuk menjabarkan dan mengaplikasikannya ke dalam peraktek pendidikan. Pendidikan dalam arti yang luas, adalah proses menguba dan memisahkan nilai suatu kebudayaan atau derajat kepada masing-masing individu dalam masyarakat.

Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam merupakan keharusan mutlak untuk dilaksanakan secara konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab, guna mencapai kesejahteraan hidup dan menjadi fasilitas untuk beribadah/bertaqwa kepada Allah Swt.
Pembinaan Etika Moral Generasi Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memperoleh kesuksesan/ kebaikan di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, ajarannya bukan hanya untuk akhirat, namun justeru yang lebih banyak untuk kehidupan dunia. Akhirat pada dasarnya merupakan konsekuensi atau hasil dari perbuatan di dunia.

Pada zaman Nabi Muhammad diutus menjadi rasul terjadi kebobbrokan akhlak pada masyarakat Arab. Sudah barang tentu yang dimaksudkan akhlak yang merjuk pada masa ketika Nabi mulai diutus adalah dalam pengertian yang luas, termasuk etika sosial. Padahal kalau kita perhatikan, memang banyak sekali nilai-nilai ajaran moral terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Seperti: adil, menolong, benar, amanah, terpuji, bermanfaat, respect (menghargai orang lain), dan lain-lain. Semua ini merupakan perilaku moralitas individual terhadap kehidupan sosial atau berdampak pada kehidupan sosial (beretika sosial) dengan landasan nilai-nilai ajaran Islam.

Harus diakui bahwa ada perilaku moralitas yang tidak berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam, seperti yang terjadi dinegara-negara Barat pada umumnya. Satu contoh perilaku beretika sosial ada yang memuat nilai-nilai ajaran Islam dan adapula yang tidak, yang dapat disebut dengan sumber sekular. Kelebihan perilaku moral dari sumber agama Islam adalah jaminan pahalah di akhirat kelak, di samping wujud keteraturan sosial di dunia. Perilaku moral yang bersumber dari ajaran sekular tidak akan ada konsekuensi di akhirat kelak. Jadi perilaku moralitas yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam mempunyai nilai ganda: dunia dan akhirat.
Jika kita menatap kenyataan perilaku sosial kita yang mayoritas beragama Islam, masih ada persoalan besar. Kehebatan ajaran Islam, terutama dalam pembinaan moralitas masyarakat atau etika sosial, memang tidak diragukan, namun banyak nilai-nilai tadi yang tidak terwujud dalam kehidupan sehari-hari atau dalam sistem sosial kita. Ini sebuah paradoks. Mari kita ambil beberapa contoh. Agama kita mengajarkan al-haya’ min al-iman (malu adalah bagian dari iman). Sehingga di Sulawesi Selatang sendiri muncul istilah konsep siri’. Namun apa yang terjadi? Generasi muda kita, terlebih lagi para elit/tokohnya, lebih sering berprilaku memalukan. Kita diajari agar berperilaku amanah namun generasi dan para elit kita justeru sering berprilaku sebaliknya (khianah). Agama Islam mengajarkan untuk menepati janji; namun dalam perakteknya para pemuka/elite dan masyarakat kita sering menampakkan praktek-praktek mengingkari janji. Kita mengenal ada gium ushul fiqh “menghindari mudarat atau kerusakan harus didahulukan dari pada memperoleh kebaikan” namun dalam perakteknya, kemafsadatan dan kemudaratan diobral. Agama Islam juga mengajarkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sesuai dengan kemampuan dan cara berpikir mereka. Tetapi para elit dan pengamat kita gemar membingungkan rakyat. Kita diajari min husn Islam al-mar’I tarkuhu ma la ya’ nihi (kebaikan Islam seseorang dapat dilihat dari upayanya menghindari hal-hal yang tidak berguna); tetapi apa yang terjadi dalam peraktek para elit kita suka obral pernyataan yang tidak tepat. Lewat agama, kita diajari an tahkumu bi al-adl (putuskanlah hukum dengan adil). Namun apa yang terjadi dalam sistem hukum kita? Masyarakat terlalu lama menunggu keadilan yang belum kunjung datang. Dan sampai sekarang kita masih menunggu Baharuddin Lopa baru (pendekar hukum). Islam juga mengajarkan agar pemimpin memikirkan kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya; namun kita menonton drama para pemimpin kita sibuk untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Kesenjangan antara norma atau ajaran agama dengan perilaku keseharian seperti tersebut di atas adalah tanda krisis multidimensional- menurut Istilah GBHN tahun 1999. istilah yang kerap juga dipakai ialah krisis lingkaran setan (vicious crises), terutama sekali dalam hal etika sosial atau moralitas sosial. Krisis ini berkelanjutan dan selalu berkaitan sampai pada batas yang tidak mudah diketahui ujung pangkalnya dalam perjalanannya karena selalu berputar dan saling berkait. (penulis menilai bahwa krisis ini dimulai dari krisis moralitas, krisis hukum, krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis kepercayaan, dan kemudian krisis sosial atau krisis kemanusiaan, yang masih berjalan sampai kini). Maka wajarlah kalau kemudian Allah sedang memberi peringatan atau mungkin sudah mendatangkan adzab-Nya kepada bangsa kita sekarang.

Jika kita sudah menyadari kondisi ini, lalu dengan cara apa kita memperbaiki bangsa ini? jawabnya adalah kembali kepada ajaran Islam dan menjadikannya sebagai landasan moralitas atau etika sosial dalam peraktek hidup dan kehidupan. Dan yang menjadi perioritas utama adalah membina generasi muda kita dengan sebaik-baik pembinaan, karena ia merupakan generasi penerus bangsa.

Terlepas dari soal itu Islam mengajarkan cara membinah generasi muda yaitu; pendidikan aqidah pendidikan berbakti (ubudiyah); pendidikan Kemasyarakatan (sosiologi); pendidikan Mental; pendidkan akhlak (budi-pekerti). Untuk jangkauan ke depan, kita harus memperbaiki bangsa ini melalui pembinaan pendidikan bagi generasi muda kita, termasuk pendidikan agama. Pelajaran agama dan peraktek etika sosial harus mendapatkan perhatian yang serius disetiap sekolah/madrasah dan pondok pesantren, sejak dari kebijakan dan kurikulum, sampai kepada praktek dan evaluasinya agar dapat sampai pada tujuan, yaitu terbangunnya masyarakat yang dalam realitasnya terwujud moralitas. Pendidik hendaknya menjadi penjaga moral bangsa dan memberi nasihat dan taushiyah, tidak semuanya terjun pada zona politik.

Untuk mewujudkan dan sekaligus mendidik prilaku moral bagi generasi muda, yang tidak dapat kita lupakan adalah lembaga pendidikan, sekolah/madrasah. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa (Social Investment), termasuk investasi untuk menancapkan prilaku sosial yang penuh dengan peraktek etika. Oleh karena itu, lewat sekolah anak-anak kita dididik sekaligus dibiasakan untuk berprilaku yang etis dan menjunjun tinggi etika sosial di Negara tercinta ini. toh untuk pembiasaan tersebut lembaga pendidikan itu sendiri harus memberikan contoh sebagai lembaga yang bermoral. Bagi generasi yang beragama, yang terbaik adalah menjalankan nilai-nilai etika bersumber dari ajaran agama. Dengan demikian, bagi umat Islam akan menerima konsekwensi di dunia dan di akhirat.

disadur dari : http://blog.umy.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar